Formula Isolat Protein Soya Tinggi Serat

Alergi Protein Susu Sapi adalah tipe alergi makanan yang paling sering terjadi sebelum bayi berusia 1 tahun.1

Formula Soya Direkomendasikan IDAI Sebagai Formula Alternatif

Pada kondisi di mana extensive hydrolyzed formula (eHF) sulit didapatkan, seperti tidak tersedia atau akibat kendala biaya, formula isolat protein soya dapat menjadi alternatif nutrisi alergi protein susu sapi. Meski demikian, dokter perlu memastikan bahwa orangtua teredukasi akan resiko reaksi alergi silang pada pemberian formula yang mengandung protein kedelai yang diperkirakan sekitar 10-20%.4

Formula Soya Tinggi Serat

Formula Isolat Protein Soya Tinggi Serat Dapat Menurunkan Risiko Alergi

Formula soya merupakan susu yang tinggi serat. Serat memiliki begitu banyak manfaat bagi saluran cerna. Selain daripada sifat serat yang dapat mengurangi kejadian konstipasi, serat juga memiliki manfaat pada perkembangan sistem imun. Sifat serat yang mendukung pertumbuhan mikrobiota usus (sifat prebiotik) memiliki peran penting dalam perbaikan sistem imun dan pencegahan alergi.5 

Berbagai jenis serat telah terbukti memiliki efek prebiotik yang sangat memengaruhi komposisi, keragaman dan keseimbangan mikrobiota usus. Studi oleh Sawicki et al (2017) menunjukan keseimbangan mikrobiota usus meningkatkan integritas usus dan sel T yang berperan penting terhadap homeostasis mukosa usus dan imunitas.6 Serat makanan yang difermentasi di kolon oleh bakteri anaerob menghasilkan beberapa asam lemak rantai pendek yang sangat bermanfaat bagi keseimbangan mikrobiota usus. Efek anti inflamasi dan peningkatan imun dari short-chain fatty acids (SCFA) menjadi mekanisme utama bagaimana mikrobiota berkontribusi terhadap pencegahan penyakit-penyakit imun termasuk alergi. Hubungan antara serat yang menyuburkan mikrobiota usus agar menghasilkan SCFA menguntungkan bagi kesehatan tubuh manusia.8

Formula Soya Tinggi Vitamin C

Formula Soya Tinggi Vitamin C Meningkatkan Absorpsi dan Bioavailabilitas Zat Besi

Formula soya yang saat ini diedarkan di pasaran adalah formula bebas protein dan laktosa susu sapi serta mengandung energi 67 kkal/dL. Seluruh formula soya telah difortifikasi zat besi dan memenuhi spesifikasi vitamin, mineral dan elektrolit untuk bayi cukup bulan yang dianjurkan oleh rekomendasi American Association of Pediatrics pada tahun 2004.9 Di Indonesia, protein dalam formula soya telah memenuhi regulasi BPOM.

Zat besi pada ASI lebih mudah diabsorpsi dibandingkan susu sapi maupun susu soya. Produk turunan kedelai seperti susu soya mengandung fitat dan polifenol yang dapat menghambat absorpsi dan mengurangi bioavailabilitas zat besi. Studi menunjukkan bahwa menambahkan asam askorbat (vitamin C) pada fortikasi zat besi dengan rasio molar 4:1 pada bayi/anak yang mengonsumsi produk mengandung soya (termasuk susu soya) dapat meningkatkan kecukupan absorpsi dan bioavailabilitas zat besi.10

Formula Isolat Protein Soya

Formula isolat protein soya digunakan sebagai formula terapeutik untuk alergi protein susu sapi, diare pascaintoleransi laktosa, galaktosemia, dan defisiensi enzim laktase primer.1

Formula Isolat Protein Soya Berbeda dari Tepung Kedelai

Pada tahap awal susu formula kedelai memiliki beberapa kekurangan, daya terima bayi, pertumbuhan, dan tidak sebanding dengan susu formula. Formula isolat protein soya saat ini sudah mengalami banyak perkembangan agar dapat mendukung tumbuh kembang.

Formula isolat protein soya saat ini terbuat dari isolat protein kedelai yang mengandung 2,2– 2,6 g protein per 100 kalori, lebih tinggi dari susu formula dan keduanya menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang sama pada bayi.4 Formula isolat protein soya mudah dicerna dan mengandung asam amino tinggi yang diperkaya dengan L-metionin, L-karnitin dan taurin. Kandungan fitat yang tinggi diatasi dengan fortifikasi seng dan besi serta peningkatan kadar kalsium dan fosfor.5

Formula Isolat Protein Soya Dukung Tumbuh Kembang Anak

Pada studi meta-analisis yang dilakukan oleh Vandenplas et al (2014), menunjukkan bahwa asupan formula isolat kedelai pada bayi cukup bulan, bahkan selama fase pertumbuhan paling cepat, menunjukan pertumbuhan antropometri normal, kecukupan protein terpenuhi, kesesuaian kepadatan tulang dan perkembangan imunitas normal. Dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran akan formula isolat kedelai dapat menimbulkan masalah klinis akibat ketidakcukupan gizi, gangguan respons imun dan gangguan neurokognitif tidak terbukti.5

Protein yang terdapat di dalam susu formula soya ternyata lebih tinggi dibandingkan susu formula biasa dan memiliki kandungan lemak yang sama dengan susu formula biasa. Seluruh lemak dan protein yang terkandung dalam susu formula soya merupakan produk turunan dari sayuran atau minyak sayur seperti kedelai, bunga matahari, dan kelapa.2,4 Kandungan karbohidrat di dalam susu formula soya juga telah berkembang pesat dan memiliki kandungan yang tidak kalah dengan susu formula biasa. Jumlah kalsium, fosfor, zat besi dan seng di dalam susu formula soya sama dengan susu formula yang mengandung susu sapi.9
 
Susu formula soya telah terbukti bermanfaat untuk bayi dengan alergi susu sapi dan tidak memiliki kandungan yang jauh berbeda dengan susu formula biasa sehingga tetap dapat mendukung kebutuhan tumbuh kembang anak.11 Studi-studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian susu formula soya tetap mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, serta perkembangan mental dan psikomotor antara anak yang mengonsumsi susu formula sapi dan susu formula soya.5

Sebuah studi di Indonesia mengenai pola pertumbuhan bayi alergi protein susu sapi yang diberikan susu formula soya menunjukkan bahwa 53 partisipan seluruhnya memiliki pola pertumbuhan yang normal. Grafik  Gambar 1 di atas menunjukkan data perubahan pertumbuhan dalam setiap kali pengukuran. Perbandingan data pertumbuhan (panjang dalam cm, berat dalam kg, dan lingkar kepala dalam cm) dilakukan sejak awal pengambilan data dan setiap kali kunjungan. Seluruh grafik pertumbuhan WHO pada setiap partisipan ditemukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik jika dibandingkan dengan grafik pertumbuhan bayi normal. Selain daripada itu, tidak ditemukan gejala alergi atau intoleransi terhadap susu formula soya pada akhir penelitian.12

Penelitian oleh Vandenplas (2014) menunjukkan bahwa bayi cukup bulan yang mengonsumsi susu soya memiliki pertumbuhan secara antropometri normal dan status protein, mineralisasi tulang serta imun yang baik. Studi ini menunjukkan bayi yang disuplementasi dengan susu soya memiliki pertumbuhan tulang, level kalsium, serum hemoglobin dan faktor imun yang sama dengan bayi yang diberikan susu lainnya.5

Studi lain juga menguji pengaruh susu soya terhadap perkembangan saraf terutama fungsi kognitif. Sebuah studi menunjukkan anak yang mengonsumsi susu soya pada tahun pertama kehidupannya tidak menunjukkan perbedaan dalam IQ (intelligent quotion), masalah perilaku, kesulitan belajar atau pun masalah emosi. Sebuah studi yang membandingkan anak yang mengonsumsi susu soya dengan susu formula sapi juga menunjukkan hasil yang konsisten yaitu tidak ada perbedaan.13

Formula Soya Aman Digunakan Secara Klinis

Pada tahap awal susu formula soya memiliki beberapa kekurangan, yaitu daya terima bayi dan pertumbuhan yang tidak sebanding dengan susu formula.9 Formula isolat protein soya saat ini sudah mengalami banyak perkembangan agar dapat mendukung tumbuh kembang.

Pengaruh formula isolat protein soya terhadap fungsi reproduksi dan endokrin ditinjau oleh Vandenplas. Peninjauan dilakukan terhadap berbagai studi cross-sectional, kasus-kontrol, dan kohort serta uji klinik hingga pertengahan 2013 yang membahas perkembangan seksual anak-anak yang diberi formula soya dibandingkan dengan anak-anak susu formula lainnya. Dari 18 studi yang dilakukan, hanya 4 penelitian yang menunjukkan pengaruh dalam kualitas bukti yang rendah meskipun beberapa perbedaan antara kelompok dapat dideteksi. Pengaruh negatif isoflavon, yang telah berulang kali ditunjukkan pada hewan yang sedang berkembang, belum dibuktikan dengan relevansi yang sama pada manusia.14 Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa pengaruh asupan isoflavon sebagai fitoestrogen dalam formula soya sangat sedikit dan tidak relevan secara klinis.

Tepung kedelai mengandung fitat yang dapat mengganggu absorpsi mineral dan elemen kelumit (trace element) sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan defisiensi berbagai mikronutrien, terutama besi, zink, dan kalsium. Meski demikian, formula soya modern dengan isolat protein kedelai mengandung kadar mikronutrien yang cukup sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terkait kadar hemoglobin, kalsium, dan zink dalam darah, serta tumbuh kembang secara umum.5

Karbohidrat utama ASI adalah laktosa.3 Namun kebutuhan spesifik akan laktosa belum terbukti.15 Dengan adanya kasus indikasi medis seperti diare pasca intoleransi laktosa, galaktosemia, dan defisiensi enzim laktase primer, penggunaan formula bebas laktosa atau laktosa tereduksi semakin banyak digunakan.16 Mirip dengan laktosa, maltodekstrin memiliki nilai energi ~4 kkal/g, dan merupakan sumber karbohidrat utama dalam formula bayi non-alergi yang mengandung bahan-bahan non-susu.17 Penggunaan maltodekstrin sebagai sumber karbohidrat yang dapat dicerna dalam susu formula bayi telah disarankan untuk membantu mengurangi beban osmotik dan gangguan usus terkait, sementara tidak memiliki efek buruk pada pertumbuhan.18

Kandungan aluminium formula isolat protein soya sering diperdebatkan, karena kandungan susu formula berbasis protein kedelai adalah 600 hingga 1300 ng/mL.19  Namun, selama asupan aluminium harian tidak melebihi 1 mg/kg, kandungan aluminium masih dalam batas yang dapat ditoleransi oleh FAO/WHO/BPOM.20,21  Adapun toksisitas aluminium dapat menyebabkan peningkatan deposisi dalam tulang dan sistem saraf pusat, terutama dengan adanya penurunan fungsi ginjal pada bayi prematur dan anak-anak dengan gagal ginjal, namun, hal tersebut tidak ditermukan pada bayi yang mengonsumsi formula isolat protein soya.19

Pada kondisi di mana extensive hydrolyzed formula (eHF) sulit didapatkan, seperti tidak tersedia atau akibat kendala biaya, formula isolat protein soya dapat menjadi alternatif nutrisi alergi protein susu sapi. Meski demikian, perlu diketahui bahwa bayi masih mungkin menampakkan gejala alergi pada pemberian jenis formula isolat protein soya. Hal ini dikarenakan adanya risiko reaksi alergi silang pada pemberian formula yang mengandung protein kedelai ini. Prevalensi alergi protein kedelai pada bayi diperkirakan sekitar 10-20% dan bahkan hingga seperempat bayi di bawah 6 bulan diduga memiliki alergi terhadap kedelai. Dengan demikian, Dokter perlu memastikan bahwa orang tua teredukasi akan hal ini.4

Nutricia Professional Ada Untuk Tenaga Kesehatan Dalam Diagnosis dan Penanganan Alergi Protein Susu Sapi

1. National Institute for Health and Care Excellence N. Cow’s milk allergy in children. National Institute for Health and Care Excellence (NICE); 2019.

2. ASCIA. Food Allergy Clinical Update for Dietitians. 2017. 

3. Robbins KA, Wood RA, Keet CA. Milk allergy is associated with decreased growth in US children. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2014;134(6):1466-8. e6.

4. Walsh J, Meyer R, Shah N, Quekett J, Fox AT. Differentiating milk allergy (IgE and non-IgE mediated) from lactose intolerance: understanding the underlying mechanisms and presentations. British Journal of General Practice. 2016;66(649):e609-e11.

5. Sumadiono. WASPADAI ALERGI SUSU SAPI PADA BAYI: Indonesian Pediatric society; 2013 [

6. Koletzko S, Niggemann B, Arató A, Dias J, Heuschkel R, Husby S, et al. Diagnostic approach and management of cow's-milk protein allergy in infants and children: ESPGHAN GI Committee practical guidelines. Journal of pediatric gastroenterology and nutrition. 2012;55(2):221-9.

7. Burks W, Ballmer-Weber BK. Food allergy. Molecular Nutrition & Food Research. 2006;50(7):595-603.

8. Høst A. Frequency of cow's milk allergy in childhood. Annals of Allergy, Asthma & Immunology. 2002;89(6):33-7.

9. Scurlock AM, Lee LA, Burks AW. Food allergy in children. Immunology and allergy clinics of North America. 2005;25(2):369-88, vii.

10. Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E, Koletzko S, et al. Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein allergy in infants. Archives of disease in childhood. 2007;92(10):902-8.

11. Park YW, Haenlein GF. Milk and dairy products in human nutrition: production, composition and health: John Wiley & Sons; 2013.

12. Indonesia IDAI. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi. Jakarta: IDAI. 2014.

13. Caffarelli C, Baldi F, Bendandi B, Calzone L, Marani M, Pasquinelli P. Cow's milk protein allergy in children: a practical guide. Italian journal of pediatrics. 2010;36(1):1-7.

14. Elsas L, Langley S, Steele E, Evinger J, Fridovich-Keil J, Brown A, et al. Galactosemia: a strategy to identify new biochemical phenotypes and molecular genotypes. American journal of human genetics. 1995;56(3):630.

15. Torkaman M, Amirsalari S, Saburi A, Afsharpaiman S, Kavehmanesh Z, Beiraghdar F, et al. Cow's milk protein allergy in infants and their response to avoidance. Journal of clinical and diagnostic research. 2012;6(4 SUPP):615-8.

16. Saarinen KM, Pelkonen AS, Mäkelä MJ, Savilahti E. Clinical course and prognosis of cow's milk allergy are dependent on milk-specific IgE status. Journal of allergy and clinical immunology. 2005;116(4):869-75.

17. Meyer R, Venter C, Fox AT, Shah N. Practical dietary management of protein energy malnutrition in young children with cow’s milk protein allergy. Pediatric allergy and immunology. 2012;23(4):307-14