Konstipasi
Konstipasi merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai pada anak-anak. Terdapat dua penyebab utama konstipasi pada anak, yaitu fungsional dan organik. Konstipasi fungsional menjadi penyebab pada 95% kasus konstipasi, sementara konstipasi organik hanya sebesar 5%. Pahami masalah konstipasi pada anak dan bagaimana menjaga kesehatan sistem pencernaan sejak dini. Salah satunya dengan intervensi prebiotik galaktooligosakarida rantai pendek dan fruktooligosakarida rantai panjang (scGOS / lcFOS) dengan perbandingan 9:1 yang memiliki efek positif terhadap peningkatan frekuensi BAB dan konsistensi feses.
Konstipasi termasuk gangguan sistem pencernaan yang menjadi alasan orangtua mengunjungi dokter anak. Konstipasi merupakan gangguan sistem pencernaan dimana anak mengalami kesulitan buang air besar karena terjadi pengerasan tinja yang disertai sakit perut dan bisa menyebabkan stres pada anak dan orangtua. 2,3,4
Saat ini, definisi konstipasi yang banyak digunakan adalah Roma IV. Kriteria diagnostik (yaitu kriteria Roma) untuk kondisi gastrointestinal fungsional, termasuk konstipasi, telah dikembangkan dan disempurnakan selama bertahun-tahun. Pembaruan terbaru, kriteria Roma IV, diterbitkan pada 2016. Kriteria diagnostik Rome IV membutuhkan ≥ 2 hal berikut, terjadi setidaknya sekali seminggu selama minimal satu bulan: ≤ 2 buang air besar per minggu; ≥ 1 episode inkontinensia fekal dalam seminggu; postur retensi; buang air besar yang menyakitkan atau keras massa feses yang besar di rektum; dan/atau tinja berdiameter besar yang dapat menghalangi toilet. 3
Tanda bahaya dalam konstipasi pada bayi dan anak termasuk tertundanya mekonium setelah 48 jam kehidupan, gejala obstruksi usus, keterlambatan perkembangan, masalah perilaku dan sering mengotori pakaian dalam. 3
Beberapa temuan ketika memeriksa pasien pediatri dengan konstipasi adalah massa fekal yang teraba pada daerah kolon sigmoid serta temuan pada daerah perianal yang meliputi fisura anus, skin tag, posisi anus yang abnormal, fistula anus, stenosis anus dan tidak adanya refleks dari anus. 3
Banyak penelitian dilakukan untuk mencari pengobatan yang paling efektif dan aman pada kasus konstipasi. Studi menunjukan bahwa polyethylene glycol (PEG) dan enema memiliki efektivitas sama dalam disimpaksi tinja. Untuk terapi pemeliharaan, penelitian menunjukan bahwa PEG lebih efektif dibandingkan dengan laktulosa, susu magnesium, mineral oil, atau plasebo. Lagipula, laktulosa dianggap aman untuk segala usia. Untuk alasan ini, laktulosa direkomendasikan jika PEG tidak tersedia. Sebaliknya, bukti penelitian tidak mendukung konsumsi serat dan asupan cairan tambahan dalam penanganan konstipasi fungsional. 2
Gangguan sistem pencernaan pada bayi bisa diatasi dengan menjaga kesehatan sistem pencernaan sejak dini. Ketika sistem pencernaan bayi yang baru lahir berkembang, ia mengembangkan kemampuan untuk memproduksi enzim untuk mencerna makanan dan antibodi untuk perlindungan.1 ASI sebagai nutrisi utama bagi bayi memiliki pengaruh pada karakteristik feses, seperti konsistensi dan frekuensi pengeluaran tinja. Tetapi jika ASI tidak dapat diberikan karena kondisi medis baik pada bayi ataupu ibu atau jika kondisi tertentu lainnya, maka susu formula dapat menjadi alternatif. Campuran spesifik prebiotik terdiri dari kombinasi galakto-oligosakarida rantai pendek dan frukto-oligosakarida rantai panjang (scGOS / lcFOS) dengan perbandingan 9:1. Dari beberapa studi yang membandingkan susu formula dengan tambahan scGOS / lcFOS dan kelompok kontrol, ditemukan bahwa tambahan prebiotik memiliki efek positif terhadap peningkatan frekuensi BAB dan konsistensi dari feses tersebut melunak setelah diberikan intervensi selama 4-10 minggu. Sehingga, efek pelunakan tinja dari scGOS / lcFOS (9: 1) dianggap bermanfaat dalam mengurangi risiko sembelit. 4